Aku baru tahu kalu ada tetangga se-cantik dia. Rambutnya panjang, hitam terurai sepinggang. ” Kaya iklan Shampoo,“ Bisikku pelan.
“A, mau beli apa?” tanyanya gadis itu tulus.
“Mau beli obat yang bisa bikin tidur pulas. Kalu bisa yang ga bangun-bangun deh,”
terkehkeh sesekali memandangi gadis itu. Tapi gadis itu sama sekali tidak tertawa hanya bibirnya menyunging sedikit. “Judes,” gerutu dalam hatiku. Tiba-tiba dari pojok warung, ada seorang Ibu menjawab seketika secepat kilat. Kira-kira umurnya sekitar 33 tahun.
“Kalau begitu sama Ibu aja dikuburin, biar gak bangun-bangun.” Aku dan si Ibu tertawa kegirangan. Tapi, aneh gadis itu sama sekali tidak tertawa. Yah, lagi-lagi senyumannya itu sinis dan kecut. Aku mencoba menggoda.
“Bu, ternyata Ibu punya gadis se—“ menelan ludah sambil mengumpulkan kekuatan. ”Maksudnya cantik, Bu. Tapi, saya belum pernah liat,” sambil melirik gadis itu. Dan dia langsung melongos. Tanpa bicara. Aneh aku memandangi seketika.
“Dia adik Ibu, De. Memang sih dia itu kuper, kalau Ibu lihat gak pernah main-main yang ga penting dan ga jelas. Sebetulnya Ibu rada khawatir sekali kalu dia tidak punya teman. Dinna itu cuek banget orangnya. Dan jarang ngomong juga dia. Beda dengan Ibu.” paparnya panjang. Aku menelan ludah sebari mencerna kata demi kata maksud si Ibu tadi.
“Memang sih, Bu. Jaman sekarang kudu hati-hati. Yang pergaulanya sampe kelewatan. Saya sih ngeri, Bu. Oia, Bu. Dari tadi saya belum minta izin buat lesehan disini. Sebenarnya saya susah tidur akhir-akhir ini. Mungkin karna kebiasaan tidur malem, jadinya pas mau hidup sehat. Ehh, ternyata susah tidur,” jawabku ketus.
“Lha, kedokter atuh, De. Mungkin gejala apa itu namanya yang bahasa gaul?” dengan mulut mengaganga.
“Insomnia,” sambil melonggos. Mengambil beberapa snack.
“Iya, itu benar. Pinter …” si Ibu memuji dengan senyuman yang lebar.
“Ibu, kalau boleh—saya naksir sama adik Ibu. Tiba-tiba si Ibu tertawa terbahak-bahak. Memangnya ini lucu. Kayanya ini bukan lelucon. Aku hanya benggong melihat si Ibu tertawa.
“De, kamu tahu dia. Dia itu susah, apalagi untuk jatuh cinta. Coba aja kalau kamu memang naksir sama dia.” Si Ibu merasa tidak yakin.
“Ibu, bukan berati saya naksir dia untuk saya pacari. Tapi—“ menelan ludah, berasa mustahil. “saya—ingin mencari istri buat mendampingi hidup saya, Bu“ menundukan pandangan seketika itu dan langsung memasang wajah berseri. Si Ibu hanya bengong menggaga.
“Baiklah, jadi semuanya berapa, Bu?” cepat-cepat aku memalingkan pembicaraan.
“Mie(satu), telor(tiga), rokok magnum(satu bungkus). Semuanya jadi: enam belas ribu rupiah.” Sambil senyum
“Ini uangnya. Oia Bu, maaf sudah menggangu Ibu, terlalu lama bahkan.” Sambil melongos dan mengucapkan salam.
“Tunggu—Dek, ibu belum ngasih tahu sebetulnya Dinna memang sedang mencari jodoh. Tapi dia tak pernah mencarinya secara langsung. Yang ibu perhatikan dia hanya melakukan shalat Isiqarah aja. Semogga Allah memberikan yang terbaik untuk dia” wajahnya penuh keperihatinan
“Oo—kebetulan sekali saya juga—“ menelan ludah lagi dan lagi “Kalu Ibu tidak keberatan boleh tidak saya minta nomer ponselnya?”
“Sebetulnya boleh saja. Tapi sebaiknya Adek minta ke dia langsung.” Tiba-tiba ada yang terjatuh dari ruangan tamu. Gubbrakk! Panik seketika. Aww, sakit! “Semogga saja aku mendapatkan nomer ponselnya,” Bisikku dalam hati.
Besok, aku berniat menemui Dinna dengan percaya diri. Bukan lagi masalah ingin memiliki nomer teleponnya. Tapi akan aku bawakan …
___________________________________
Diprsembahkan untuk : Monday FlashFiction